Ada rahasia terdalam di hati Ali yang tak dikisahkannya pada
siapapun. Fathimah. Karib kecilnya, puteri tersayang dari Sang Nabi yang adalah
sepupunya itu, sungguh memesonanya. Kesantunannya, ibadahnya, kecekatan
kerjanya, parasnya. Lihatlah gadis itu pada suatu hari ketika ayahnya pulang
dengan luka memercik darah dan kepala yang dilumur isi perut unta. Ia bersihkan
hati-hati, ia seka dengan penuh cinta. Ia bakar perca, ia tempelkan ke luka
untuk menghentikan darah ayahnya.
Semuanya dilakukan dengan mata gerimis dan hati menangis.
Muhammad ibn ‘Abdullah Sang Tepercaya tak layak diperlakukan demikian oleh
kaumnya! Maka gadis cilik itu bangkit. Gagah ia berjalan menuju Ka’bah. Di
sana, para pemuka Quraisy yang semula saling tertawa membanggakan tindakannya
pada Sang Nabi tiba-tiba dicekam diam. Fathimah menghardik mereka dan seolah
waktu berhenti, tak memberi mulut-mulut jalang itu kesempatan untuk menimpali.
Mengagumkan!Ali tak tahu apakah rasa itu bisa disebut cinta. Tapi, ia memang
tersentak ketika suatu hari mendengar kabar yang mengejutkan. Fathimah dilamar
seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat kedudukannya dengan Sang
Nabi. Lelaki yang membela Islam dengan harta dan jiwa sejak awal-awal risalah.
Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak diragukan; Abu Bakr Ash Shiddiq,
Radhiyallaahu ’Anhu”Allah mengujiku rupanya”, begitu batin ’Ali.ross putihIa
merasa diuji karena merasa apalah ia dibanding Abu Bakar. Kedudukan di sisi
Nabi? Abu Bakar lebih utama, mungkin justru karena ia bukan kerabat dekat Nabi
seperti ‘Ali, namun keimanan dan pembelaannya pada Allah dan RasulNya tak
tertandingi. Lihatlah bagaimana Abu Bakar menjadi kawan perjalanan Nabi dalam
hijrah sementara ‘Ali bertugas menggantikan beliau untuk menanti maut di
ranjangnya.
Lihatlah juga bagaimana Abu Bakr berda’wah. Lihatlah berapa
banyak tokoh bangsawan dan saudagar Makkah yang masuk Islam karena sentuhan Abu
Bakar; ‘Utsman, ‘Abdurrahman ibn ‘Auf, Thalhah, Zubair, Sa’d ibn Abi Waqqash,
Mush’ab.. Ini yang tak mungkin dilakukan kanak-kanak kurang pergaulan seperti
‘Ali.
Lihatlah berapa banyak budak Muslim yang dibebaskan dan para
faqir yang dibela Abu Bakar; Bilal, Khabbab, keluarga Yassir, ‘Abdullah ibn
Mas’ud.. Dan siapa budak yang dibebaskan ‘Ali? Dari sisi finansial, Abu Bakar
sang saudagar, insya Allah lebih bisa membahagiakan Fathimah.
‘Ali hanya pemuda miskin dari keluarga miskin. “Inilah
persaudaraan dan cinta”, gumam ‘Ali.
“Aku mengutamakan Abu Bakar atas diriku, aku mengutamakan
kebahagiaan Fathimah atas cintaku.”
Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil
kesempatan atau mempersilakan. Ia adalah keberanian, atau pengorbanan
Beberapa waktu berlalu, ternyata Allah menumbuhkan kembali
tunas harap di hatinya yang sempat layu.
Lamaran Abu Bakr ditolak. Dan ’Ali terus menjaga semangatnya
untuk mempersiapkan diri. Ah, ujian itu rupanya belum berakhir. Setelah Abu
Bakr mundur, datanglah melamar Fathimah seorang laki-laki lain yang gagah dan
perkasa, seorang lelaki yang sejak masuk Islamnya membuat kaum Muslimin berani
tegak mengangkat muka, seorang laki-laki yang membuat syaithan berlari takut
dan musuh- musuh Allah bertekuk lutut.
‘Umar ibn Al Khaththab. Ya, Al Faruq, sang pemisah kebenaran
dan kebathilan itu juga datang melamar Fathimah. ‘Umar memang masuk Islam
belakangan, sekitar 3 tahun setelah ‘Ali dan Abu Bakar. Tapi siapa yang
menyangsikan ketulusannya? Siapa yang menyangsikan kecerdasannya untuk mengejar
pemahaman? Siapa yang menyangsikan semua pembelaan dahsyat yang hanya ‘Umar dan
Hamzah yang mampu memberikannya pada kaum muslimin? Dan lebih dari itu, ‘Ali
mendengar sendiri betapa seringnya Nabi berkata, “Aku datang bersama Abu Bakar
dan ‘Umar, aku keluar bersama Abu Bakr dan ‘Umar, aku masuk bersama Abu Bakr
dan ‘Umar..”
Betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasul, di sisi ayah
Fathimah. Lalu coba bandingkan bagaimana dia berhijrah dan bagaimana ‘Umar
melakukannya. ‘Ali menyusul sang Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam kejaran
musuh yang frustasi karena tak menemukan beliau Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam.
Maka ia hanya berani berjalan di kelam malam. Selebihnya, di siang hari dia
mencari bayang-bayang gundukan bukit pasir. Menanti dan bersembunyi.
‘Umar telah berangkat sebelumnya. Ia thawaf tujuh kali, lalu
naik ke atas Ka’bah. “Wahai Quraisy”, katanya. “Hari ini putera Al Khaththab
akan berhijrah. Barangsiapa yang ingin isterinya menjanda, anaknya menjadi
yatim, atau ibunya berkabung tanpa henti, silakan hadang ‘Umar di balik bukit
ini!” ‘Umar adalah lelaki pemberani. ‘Ali, sekali lagi sadar. Dinilai dari
semua segi dalam pandangan orang banyak, dia pemuda yang belum siap menikah.
Apalagi menikahi Fathimah binti Rasulillah! Tidak. ‘Umar jauh lebih layak. Dan
‘Ali ridha.
Cinta tak pernah meminta untuk menanti
Ia mengambil kesempatan
Itulah keberanian
Atau mempersilakan
Yang ini pengorbanan
Maka ‘Ali bingung ketika kabar itu meruyak. Lamaran ‘Umar
juga ditolak.
Menantu macam apa kiranya yang dikehendaki Nabi? Yang
seperti ‘Utsman sang miliarderkah yang telah menikahi Ruqayyah binti
Rasulillah? Yang seperti Abul ’Ash ibn Rabi’kah, saudagar Quraisy itu, suami
Zainab binti Rasulillah? Ah, dua menantu Rasulullah itu sungguh membuatnya
hilang kepercayaan diri.
Di antara Muhajirin hanya ‘Abdurrahman ibn ‘Auf yang setara
dengan mereka. Atau justru Nabi ingin mengambil menantu dari Anshar untuk
mengeratkan kekerabatan dengan mereka? Sa’d ibn Mu’adz kah, sang pemimpin Aus
yang tampan dan elegan itu? Atau Sa’d ibn ‘Ubaidah, pemimpin Khazraj yang
lincah penuh semangat itu?
“Mengapa bukan engkau yang mencoba kawan?”, kalimat teman-teman
Ansharnya itu membangunkan lamunan. “Mengapa engkau tak mencoba melamar
Fathimah? Aku punya firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu Baginda Nabi.. “
“Aku?”, tanyanya tak yakin.
“Ya. Engkau wahai saudaraku!”
“Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?”
“Kami di belakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu!”
‘Ali pun menghadap Sang Nabi. Maka dengan memberanikan diri,
disampaikannya keinginannya untuk menikahi Fathimah. Ya, menikahi. Ia tahu,
secara ekonomi tak ada yang menjanjikan pada dirinya. Hanya ada satu set baju
besi di sana ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya. Tapi meminta
waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap? Itu memalukan! Meminta Fathimah
menantikannya di batas waktu hingga ia siap? Itu sangat kekanakan. Usianya telah
berkepala dua sekarang.
“Engkau pemuda sejati wahai ‘Ali!”, begitu nuraninya
mengingatkan. Pemuda yang siap bertanggungjawab atas cintanya. Pemuda yang siap
memikul resiko atas pilihan- pilihannya. Pemuda yang yakin bahwa Allah Maha
Kaya. Lamarannya berjawab, “Ahlan wa sahlan!” Kata itu meluncur tenang bersama
senyum Sang Nabi.
Dan ia pun bingung. Apa maksudnya? Ucapan selamat datang itu
sulit untuk bisa dikatakan sebagai isyarat penerimaan atau penolakan. Ah,
mungkin Nabi pun bingung untuk menjawab. Mungkin tidak sekarang. Tapi ia siap
ditolak. Itu resiko. Dan kejelasan jauh lebih ringan daripada menanggung beban
tanya yang tak kunjung berjawab. Apalagi menyimpannya dalam hati sebagai
bahtera tanpa pelabuhan. Ah, itu menyakitkan.
“Bagaimana jawab Nabi kawan? Bagaimana lamaranmu?”
“Entahlah..”
“Apa maksudmu?”
“Menurut kalian apakah ‘Ahlan wa Sahlan’ berarti sebuah
jawaban!”
“Dasar tolol! Tolol!”, kata mereka,
“Eh, maaf kawan.. Maksud kami satu saja sudah cukup dan kau
mendapatkan dua! Ahlan saja sudah berarti ya. Sahlan juga. Dan kau mendapatkan
Ahlan wa Sahlan kawan! Dua-duanya berarti ya !”
Dan ‘Ali pun menikahi Fathimah. Dengan menggadaikan baju
besinya. Dengan rumah yang semula ingin disumbangkan ke kawan-kawannya tapi
Nabi berkeras agar ia membayar cicilannya. Itu hutang.
Dengan keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakr,
‘Umar, dan Fathimah. Dengan keberanian untuk menikah. Sekarang. Bukan
janji-janji dan nanti-nanti.
‘Ali adalah gentleman sejati. Tidak heran kalau pemuda Arab
memiliki yel, “Laa fatan illa ‘Aliyyan! Tak ada pemuda kecuali Ali!” Inilah
jalan cinta para pejuang. Jalan yang mempertemukan cinta dan semua perasaan
dengan tanggung jawab. Dan di sini, cinta tak pernah meminta untuk menanti.
Seperti ‘Ali. Ia mempersilakan. Atau mengambil kesempatan. Yang pertama adalah
pengorbanan. Yang kedua adalah keberanian.
Dan ternyata tak kurang juga yang dilakukan oleh Putri Sang
Nabi, dalam suatu riwayat dikisahkan bahwa suatu hari (setelah mereka menikah)
Fathimah berkata kepada ‘Ali, “Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu.
Aku pernah satu kali jatuh cinta pada seorang pemuda”
‘Ali terkejut dan berkata, “kalau begitu mengapa engkau mau
manikah denganku? dan Siapakah pemuda itu?”
Sambil tersenyum Fathimah berkata, “Ya, karena pemuda itu
adalah Dirimu” ini merupakan sisi ROMANTIS dari hubungan mereka berdua.
Kemudian Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya Allah Azza wa
Jalla memerintahkan aku untuk menikahkan Fatimah puteri Khadijah dengan Ali bin
Abi Thalib, maka saksikanlah sesungguhnya aku telah menikahkannya dengan
maskawin empat ratus Fidhdhah (dalam nilai perak), dan Ali ridha (menerima)
mahar tersebut.”
Kemudian Rasulullah saw. mendoakan keduanya:
“Semoga Allah mengumpulkan kesempurnaan kalian berdua,
membahagiakan kesungguhan kalian berdua, memberkahi kalian berdua, dan
mengeluarkan dari kalian berdua kebajikan yang banyak.” (kitab Ar-Riyadh
An-Nadhrah 2:183, bab4)